Monday, May 15, 2017

KEDUDUKAN DAN WEWENANG LEMBAGA FATWA (DSN-MUI) PADA BANK SYARIAH



TUGAS SOFTSKILL
AKUNTANSI INTERNASIONAL
“KEBUTUHAN MASYARAKAT DUNIA INTERNASIONAL TERHADAP AKUNTANSI SYARIAH”

Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 1, No. 2 2011
1 Sekolah Tinggi Agama Islam Darul Ulum Banyuwangi
ISSN: 2088-6365

KEDUDUKAN DAN WEWENANG LEMBAGA FATWA (DSN-MUI)
PADA BANK SYARIAH

Imam Abdul Hadi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta


Abstrak

Peran dan Fungsi lembaga fatwa di Indonesia sangat siginifikan, hal ini disebabkan kebutuhan dunia perbankan terhdap kehalalan produk yang akan diberikan kepada masyarakat dan untuk menciptakan rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Di setiap Negara memiliki kebijakan tersendiri untuk menetapkan struktur dan posisi lembaga fatwa dalam dunia keuangan maupun perbankan, di Indonesia Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) merupakan lembaga independen yang memiliki otoritas yang kuat terhadap hukum – hukum Islam yang berkaitan dengan Lembaga Keuangan Islam.
Penulis mencoba menjelaskan bagaimana kedudukan dan wewenang DSN-MUI in Indonesia dan dibandingkan institusi lembaga fatwa yang ada di beberapa Negara seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Inggris terutama dalam penerapan sistem perbankan syariah.
Kata Kunci: Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia, Bank Syariah, Keuangan Islam, Malaysia, Pakistan, Mesir, Uni Emirat Arab, Inggris


A.    Pendahuluan
Salah satu perbedaan mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional adalah dilarangnya sistem bunga pada Bank Syariah dan diharuskan sesuai dengan hukum Islam, adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada tiap-tiap bank tersebut bertugas mengawasi segala bentuk operasional bank syariah untuk tetap dalam koredor hukum syariah.
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di tanah air, berkembang pulalah julah DPS yang ada untuk mengawasi masing-masing lembaga tersebut. Banyak dan beragamnya DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu hal yang harus disyukuri tetapi juga harus diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda antara satu DPS dengan DPS lainnya. MUI sebagai payung dari lembaga dan orgnisasi ke-Islaman di Indonesia, menganggap perlu dibentuknya satu Dewan Syariah yang bersifat Nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangn termasuk bank syariah.1
DPS di Indonesia diangkat melalui Rapat umum pemegang saham atas rekomendasi DSN-MUI.2 Dismping itu peran DSN – MUI sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam mengeluarkan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan berbagai bentuk produk Lembaga Keuangan Syariah (LKS) khususnya Bank Syariah memiliki peran penting dan harus didukung dengan kekuatan hukum yang kuat.
Dewan Pengawas Syariah wajib dimiliki oleh setiap Bank yang menjalankan usahanya dengan prinsip syariah, dimana DPS merupakan lembga indevenden yang dibentuk oleh DSN, dan DPS wajib mengikuti fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.3
Otoritas tertinggi dalam perbankan baik bank konvensional ataupun bank syariah dipegang oleh Bank Indonesia. Namun peran bank Indonesia dalam menetapkan peraturan terhadap perbankan syariah belum sempurna bila tidak merujuk terlebih dahulu terhadp fatwa yang dikeluarkan oleh DSN – MUI. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga indevenden dan memiliki otoritas dalam hal syariah dalam hal ini DSN-MUI.
DSN-MUI dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama Indonesia, dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris serta beberapa anggota.4
Semakin kompleknya permasalahan yang dihadapi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) saat ini menuntut semakin sigapnya DSN-MUI terhadap innovasi-innovasi produk yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini untuk memajukan dan meningkatkan pertumbuhan LKS di tanah air.
Penulis akan mencoba membahas bagaimana sebenarnya wewenang dan kedudukan DSN-MUI dalam perbankan syariah di Indonesia? penulis juga akan mencoba memasukkan informasi bagaimana lembaga fatwa yang ada di negara lain.

B.     Posisi Dewan Syariah di Indonesia (Shariah Supervisory Board)
Indonesia sebagai negara dengan masyarakat muslim yang sangat banyak, memilki beberapa organisasi masyarakat yang berasaskan Islam, diantara organisasi-organisaasi tersebut juga memiliki badan fatwa. Kita sebut saja Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah namun pada tulisan ini penulis hanya akan membahas tentang peranan Lembaga Fatwa DSN-MUI yang dianggap sebagai pemegang otoritas syariah tertinggi di Indonesia.
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah (LKS).5
DSN-MUI merupakan lembaga indevenden dalam mengeluarkan fatwa sebagai rujukan yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keuangan dan perbankan. 6 Peran DSN-MUI sangat penting utntuk meningkatkan perbankan syariah dan menjaga kepatuhan bank syariah terhadap hukum Islam.
Sampai Juli 2007, DSN-MUI telah mengeluarkan 61 Fatwa terkait produk keuangan syariah,7 Tugas DSN – MUI di bidang keuangan dan perbankan adalah sebagai badan otoritas yang memberikan saran kepada institusi terkait (Bank Indonesia, Departemen Keuangan, atau Bapepam) berkaitan dengan operasi perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, mengoordinasi isu-isu syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, dan menganalisis dan mengevaluasi aspek-aspek Syariah dari skim atau produk baru yang diajukan oleh institusi perbankan dan keuangan syariah lainnya.
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI bukanlah hukum positif,8 sama seperti fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI dalam bidang-bidang lainnya. Agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dapat berlaku dan mengikat sebagai mana hukum positif yang berlaku di Indonesia, maka pada UU No.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI dapat ditindak lanjuti sebagai Peraturan Bank Indonesia.
Kita dapat memahami dari kutipan UU No. 21 Thn 2008 sebagai berikut disebutkan pada pasal 26:
1)      Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
2)      Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.
3)      Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia.
4)      Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia membentuk komite perbankan syariah.
5)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
Dengan demikian ada kekuatan hukum yang mengikat antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan hukum positif berupa PBI yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Hubungan ini menunjukkan betapa peran dari lembaga fatwa di Indonesia sangat signifikan dan strtegis dalam membangun dan memajukan Lembaga Keuangan Syariah dengan tetap memperhatikan hukum-hukum syariah yang harus dipatuhi oleh LKS.
Pentingnya peran DSN untuk tetap menjaga kepatuhan LKS terhadap ketentuan syariah, karena pada Undang-Undang No. 21 Thun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa setiap kegiatan usaha tidak boleh bertantangan dengan syariah, yang dirujuk pada fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI dan telah dikonfersi kedalam PBI. Dengan demikian Fatwa yang telah dirujuk dan dijadikan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengikat setiap LKS atau mengikat publik, sedangkan fatwa yang yang belum tertuang dalam PBI belum dapat dikatakan mengikat publik / LKS.
Berkaitan dengan ketentuan Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah berkenaan dengan berlakunya prinsip syariah, maka Peraturan Bank Indonesia No.11/15/PBI/2009 telah memberikan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan Prinsip Syariah. Menurut PBI tersebut “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia”. berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tersebut sepanjang Prinsip Syariah tersebut telah difatwakan oleh DSN-MUI, maka Prinsip Syariah demi hukum telah berlaku sebagai hukum positif sekalipun belum atau tidak dituangkan dalam Perturan Bank Indonesia.9
Dengan peraturan yang di tetapkan oleh Bank Indonesia di atas memperkuat posisi fatwa dari DSN-MUI menjadi salah satu sumber penting dalam melakukan innovasi produk perbankan syariah. Walaupun fatwa tersebut belum di aplikasikan dalam PBI, tetap fatwa tersebut memiliki kekuatan hukum sehingga harus ditaati oleh setiap lembaga keuangan yang menggunakan sistem syariah.
Terkait dengan innovaasi produk sangat terkait dengan, fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI berdasarkan permintaan perbankan, perkembangan inovasi produk harus didukung dengan SDI yang ada di Lembaga Keuangan Syariah, dan Lembaga Fatwa.
Banyak akad yang belum teroptimalkan dengan baik karena kurangnya SDI dalam perbankan syariah. Bila dilihat dari perkembangan innovasi produk perbankan syariah di Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Negara-negara di Uni Emirate Arab (UAE).

C.    Tugas dan Wewenang Lembaga Fatwa di Indonesia
Posisi kelembagaan DSN-MUI dalam struktur MUI sangatlah penting, hal ini guna meningkatkan kinerja bank syariah dalam meningkatkan inovasi produk-produk bank syariah. Dewan Syariah Nasional juga melakukan pengawasan terhadap setiap lembaga keuangan yang menggunakan sistem syariah dengan menempatkan Dewan Pengawas Syariah di setiap lembaga tersebut.
Perkembangan LKS saat ini tidak dapat terlepas dari peran serta Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) , walaupun masih banyak hambatan yang dialami DSN – MUI dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Kedudukannya DSN adalah sebagai anggota dari Majelis Ulama Indonesia yang merupakan terdiri dari para ulama, praktisi, dan para pakar yang terkait dalam bidang muamalah syariah.10 adapun tugas DSN adalah sebagai berikut :
1)      Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegitan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
2)      Mengeluarkan Fatwa-fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan.
3)      Mengeluarkan Fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah.
4)      Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Dari paparan tugas DSN-MUI tersebut menunjukkan 2 fungsi utama DSN-MUI yaitu, mengelurkan peraturan berupa fatwa dan juga mengawasi berjalannya pelaksaan prinsip syariah pada setiap lembaga keuangan syariah di Indonesia, disamping itu DSN-MUI turut aktif dalam pengembangan nilai-nilai syariah dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Untuk memudahkan peran DSN dalam menjalankan tugasnya, DSN_MUI memiliki wewenang yang berlaku bagi seluruh Lembaga Keuangan Syarih (LKS) yaitu:11
a.       Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
b.      Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/ peraturan yang dikeluarkn oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Deprtemen Keuangan.
c.       Memberikan rekomendasi dan/ atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu LKS.
d.      Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otorits moneter/ lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.
e.       Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
f.       Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
Wewenang-wewenang diatas telah memberikan kemudahan bagi DSN-MUI sebagai otoriter syariah tertinggi di Indonesia, yang menjadi salah satu sektor penting adalah wewenang untuk memberikan rekomendasi nama-nama yang akan duduk di DPS, yang selanjutnya akan diseleksi oleh BI.
Kepakaran Anggota DSN-MUI dalam hal syariah tidak dapat kita ragukan lagi, namun dalam menetapkan suatu hal DSN-MUI memiliki wewenang untuk memanggil tenaga ahli, guna menelaah isu-isu keuangan Islam denga lebih professional.
Kita dapat membuat gambaran mengenai Tugas dan mekanisme kerja DSN-MUI dalam memenuhi permintaaan innovasi produk oleh Lembaga Keuangan Islam.



D.    Kedudukan dan Fungsi Lembaga Fatwa di Negara Lain
1.      Nastional Shariah Advisory Council (NSAC) sebagai lembaga fatwa di Malaysia.
Penulis memilih negara Malaysia karena perkembangan dan pertumbuhan perbankan syariah di Malaysia cukup besar dan posisinya masih berada diatas Indonesia. Dukungan pemerintah terhadap perbankan syariah terlihat sangat besar dan sangat memberikan kesempatan bagi perluasan bank syariah di Malaysia.
Dilihat dari sejarah berdirinya bank Islam di Malaysia, diawali dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang didirikan pada tahun 1983. Lahirnya BIMB juga disertai pembentukan Shariah Supervisory Council (SSC) yang tugasnya mengawasi agar operasi BIMB tidak menyimpang dari ketentuan hukum Islam.12 dengan semakin berkembangnya sistem perbankan Islam di Malaysia, maka SSC juga di tugaskan untuk mengawasi perbankan konvensional yang menawarkn jasa perbankan syariah pada awal tahun 1993.
Seiring dengan semakin berkembangnya perbankan syriah di Malaysia pemerintah Malaysia mendirikan otoritas syariah tertinggi di Malaysia yaitu Nastional Shariah Advisory Council ( NSAC) yang didirikan pada 1 Mei 1997 , lembaga ini berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memutuskan masalah syariah pada lembaga keuangan syariah baik bank ataupun nonbank.
NSAC berada dalam struktur organisasi Bank Negara Malaysia (BNM). Anggota NSAC ditunjuk oleh dewan direktur (board of directors) BNM untuk masa kerja tiga tahun dan dapat dipilih kembali pada periode berikutnya. Tujuan dari didirikaannya NSAC adalah untuk:
·         Bertindak sebagai satu-satunya badan otoritas yang memberikan saran kepada BNM berkaitan dengan operasi perbankan dan asuransi Syariah;
·         Mengkordinasi isu-isu Syariah tentang keuangan dan perbankan syariah, termasuk asuransi Syariah; dan
·         Menganalisis dan evaluasi aspek-aspek Syariah dari skim atau produk baru yang diajukan oleh institusi perbankan dan perusahaan takaful.

Dengan dibentuknya National Shariah Advisory Council maka tugas Shariah Supervisory Council (SSC) yang berada di lembaga-lembaga keuangan syariah hanya tinggal mengawasi operasi lembaga keuangan yang diawasinya apakah sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan pedoman dan fatwa yang dikeluarkan oleh National Shariah Advisory Council.13
Dari sejarah munculnya SSC diawal lahirnya bank syariah di Malaysia kemudian disusul dengan dibentuknya NSAC adalah menunjukkan bahwa pemerintah Malasysia dalam membentuk Dewan Syariah melalui tahapan-tahapan diawali dengan pengawas syariah di masing-masing lembaga lalu dibuat dewan pengawas nasional beberapa tahun setelah pertumbuhan dan perkembangan bank syariah di Malaysia.
Keberadaan National Shariah Advisory Council (NSAC) di dalam struktur bank sentral akan meningkatkan respons dan efektivitas pengambilan keputusan dan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan masalah-masalah Syariah yang dihadapi oleh perbankan dan asuransi Syariah. Hal ini berbeda dengan di Indonesia dimana Dewan Syarian Nasional DSN-MUI merupakan lembaga non-pemerintah atau indevenden.
Dibentuknya NSAC dalam struktur Bank Central di Malaysia menyebabkan independensi dewan syariah ini menjadi terbatas karena harus mengikuti aturan dari pemerintah, dan dewan syariah tersebut bukan merupakan lembaga independen trsendiri, melainkan berada di bawah dewan direktur bank sentral.

2.      Shariah Board di Pakistan
Ketertarikan penulis untuk memilih Pakistan ialah, karena Pakistan adalah salah satu negara yang merevolusi seluruh sistem keuangannya dan pemerintahnanya berdasarkan Islam.
Otoritas Syariah tertinggi di bidang keuangan dan perbankan di Pakistan berada pada Shariah Board (Dewan Syariah) SBP yang dibentuk dalam struktur organisasi State Bank of Pakistan. Anggota Dewan Syarih terdiri dari dua orang ulama syariah ternama, seorang akuntan, seorang ahli hukum, dan seorang bankir. Tugas dari Dewan Syariah SBP tidak berbeda dengan tugas dewan syariah pada umumnya, antara lain;a) bertindak sebagai satu-satunya badan otoritas yang memberikan saran kepada SBP berkaitan dengan operasi perbankan syarih; b) mengordinasi isu-isu syariah tentang keuangan dan perbankan syariah;
dan c) mengnalisis dan mengevaluasi aspek-aspek Syariah dari skim tau produk baru yang diajukan oleh institusi perbankan.
Keberadaan Dewan Syariah SBP di dalam Bank sentral akan meningkatkan respond an efektivitas pengambilan keputusan dan fatwa-fatwa yang berhubungan dengan masalah-masalah syariah yang dihadapi oleh perbankan syariah. Namun demikian, independensi dewan syariah ini terbatas juga karena bukan merupakan lembaga independen tersendiri dan anggotanya berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Secara struktur Dewan syariah terdiri dari beberapa bidang terkait antara lain, ahli syariah, ahli perbankan, ahli akuntansi, ahli hukum dan ahli-ahli terkiatlainnya. Dewan syariah terdiri dari 5 orang dua diantarnya merupakan ahli syariah, dan yang menjadi ketua dewan syaraiah harus berasal dari ahli syariah. 14

3.      Lembaga Fatwa di Mesir
Negara Mesir mencatat dirinya dalam sejarah sebagai negara Timur Tengah yang mendirikan bank syariah pertama kali. Walaupun perbankan syariah di Mesir pernah mengalami masa-masa suram dengan terpaksanya penutupan Bank Mith Gamr yang beroperasi tanpa bunga dipaksa untuk menggunakan sistem bunga, dan akhirnya dipaksa tutup pada tahun 1968.15
Berkaitan dengan Lembaga Fatwa di Mesir atau Dar al-Ifta’ al-Misriyah merupakan lembaga fatwa yang diakui negara dalam hal otoriter mengenai syariah. Disamping itu di mesir banyak juga mufti pribadi, yang bukan merupakan pejabat negara.

4.      Dewan Syariah di Inggris
Inggris sebgai negara Eropa pertama yang mendobrak lahirnya perbankan syariah di wilayah Eropa. Dengan di lahirkannya Islamic Bank of Britain (IBB) yang di sokong dana dari Timur-Tengah, bank ini berdiri berdasarkan izin pendirian bank syariah yang dikeluarkan oleh Financial Service Authority (FSA) Inggris.
Kemudian disususl didiriknnaya bank HSBC Amanah yang kemudian berkembang ke seluruh penjuru dunia, banyak langkah-langkah positif yang diterapkan pemerintah Inggris melalui FSA dalam mengembangkan dan mendukung pertumbuhan bank syariah di negara tersebut, seperti, penghilangan pajak ganda pada produk murabahah.
Dalam pengawasan syariah dan lembaga fatwa yang digunakan oleh bank syariah diatur oleh FSA, dengan mengadopsi standar Syariah Internasional. Pengembangan bank syariah di Inggris melakukan kordinasi dengan Dewan Pengawas Syriah setempat di negara bank tersebut dibuka.
Lembaga Fatwa di Inggris sendiri tidak ada, hanya setiap bank syariah yang harus memiliki dewan pengawas syariah yang berhak mengeluarkan fatwa.

5.      Uni Emirat Arab
Negara Uni Emirat Arab membuat lembaga otoritas syariah tertinggi yang berfungsi sebagai penetap ketentuan syariah dari lembaga keuangan syariah. Lembaga ini didirikan berdasarkan UU Federal Nomor 6 tahun 1985 Pasal 5.
Kewenangan dari lembaga ini adalah sebagai pemegang kekuatan syariah tertinggi di UAE. Anggota dari Otoritas Syariah din UAE tidak dibatasi untuk dapat menjadi dewan pengaws syariah di Lembaga Keuangan Islam yang ada di negara tersebut.16
Tidak jauh berbeda dengan lembaga Fatwa di Indonesia yang juga dimiliki oleh organisasi-organisasi Islam tertentu, pada negara-negara UEA juga banyak terdapat mufti-mufti pribadi.
Banyaknya mufti-mufti di negara UEA memberikan kebebasan pada masyarakat untuk mengikuti mufti yang dia yakini, ataupun lembaga keuangan syariah berhak untuk mengangkat dewan pengawas syariahnya sendiri, tanpa ada rekomendasai dari Lembaga Fatwa Negara.

E.     Penutup
Hampir diseluruh Negara yang memiliki sistem perbankan syariah memiliki Dewan Syariah Nasional dimana fungsi dan tugas dari lembaga tersebut sebagi pemegang otoriter tentang syariah di negara tersebut. Namun di beberapa negara yang menerapkan hukum Islam tidak melembagakan dewan syariah secara resmi. Namun tetap memiliki dewan pengawas syariah dimasing-masing lembaga keuangan.
Peran dan Fungsi dari DSN sangat siginifikan, hal ini disebabkan kebutuhan dunia perbankan terhdap kehalalan produk yang akan diberikan kepada masyarakat dan untuk menciptakan rasa aman dan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah.
Disetiap Negara memiliki kebijakan tersendiri untuk menetapkan struktur dan posisi DSN dalam dunia keuangan maupun perbankan, di Indonesia DSN merupkan lembaga indevenden yang memiliki otoritas yang kuat terhadap hukum – hukum Islam yang berkaitan dengan Lembaga Keuanagn Islam. dan Lemabagaini berada dibawah Majelis Ulama Indonesia.
Malaysia dan Pakistan menempatkan DSN berada di bawah struktur Bank sentral di negara tersebut, hal ini menjadikan kinerja dan dukungan terhadap Lembaga Fatwa tersebut lebih besar dan pesat berkembang.
Hanya saja kecenderungan lembaga tersebut terhadap pemerintah dapat mempengaruhi indevendensi dari lembaga itu sendiri. Karena akan menimbang pada keinginan dari pemerintah yang dalam hal ini oleh Bank Central di negara tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Karnaen A. Perwataatmadja dan Hendri Tanjung. Bank Syariah Teori, Praktik, dan
Peranannya, Jakarta: Celestial Publishing, 2007.
Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Cet.1, Jakarta : Gema
Insani Press, 2001.
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Google book. 68-69
diakses melalui situs http://books.google.co.id (pada tanggal 31 Mei 2012)
Ascarya. Akad & Produk bank Syariah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Hasan, Zubairi. Undang-undang Perbankan Syariah: Titik Temu Hukum Islam dan Hukum
Nasional , ed.1, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sjahdeini, Sutan Remy. Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek Hukumnya, (Jakarta:
PT Jakarta Agung Offset, 2010
Usmani, Muhammad Imran Ashraf. Meezanbanks’s Guide to Islamic Banking, Pakistan:
Darul-Ishaat Urdu Bazar Karachi-I, 2002.
Ahmed, Salahuddin. Islamic Banking Finance and Insurance a Global Overview, Kuala
Lumpur: Percetakan Zafar Sdn. Bhd, 2006.
Lewis, Mervyn K dan Latifa M. Algaoud. Perbankn Syariah Prinsip, Praktik, dan Prospek,
penerjemah Burhan Wirasubrata. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001.
Undang-undang No. 21. Tentang Perbankan Syariah Tahun 2008
http://www.hawkamah.org/files/Islamic%20Finance%20Policy%20Brief%20FINAL%20Ma
y%2025%202011.pdf
http://www.sbp.org.pk/departments/pdf/StrategicPlanPDF/Appendix
C%20Shariah%20Compliance.pdf
http://raizeva-syariahekonomi.blogspot.com/2012/04/perkembangan-ekonomi-syariah-di-
negara.html
http://www.mui.or.id
www.bi.go.id


REFERENSI

Monday, April 10, 2017

PERKEMBANGAN ATAS PELAPORAN DAN PENGUNGKAPAN KEUANGAN DAN IMPLIKASI TERHADAP PENGGUNA TERUTAMA MANAJER



TUGAS SOFTSKILL
AKUNTANSI INTERNASIONAL

DIPONEGORO JOURNAL OF ACCOUNTING
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/accounting

Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-10               ISSN (Online): 2337-3806

PENGARUH KINERJA KEUANGAN, UKURAN PERUSAHAAN DAN CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PENGUNGKAPAN SUSTAINABILITY REPORT

Mega Putri Yustia Sari, Marsono1
Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedharto SH Tembalang, Semarang 50239, Phone: +622476486851


ABSTRACT
Sustainability report disclosure in Indonesia has left the initial phase. Now the number of corporate that reveal sustainability report is increasing from the previous period. The aim of this research is to examine the effects of financial performances, firm size and corporate governance to the sustainability report disclosure. The population of this research is listed companies in the BEI (Bursa Efek Indonesia) in the year 2009-2011. The selection of this sample uses purposive sampling method. Based on purposive sampling method, the samples of firms that publish sustainability report are 23 companies. Results of this research indicate that audit committee and board of commissioner independence have a positive effect on sustainability report disclosure. The profitability variable have a negative effect on sustainability report. While liquidity, leverage, firm activity, firm size and board of director showed no effect on sustainability report disclosure. The results showed that financial performances have not full effect to the sustainability report.

Keywords: sustainability report, financial performances, firm size, corporate governance




PENDAHULUAN

Perusahaan dalam mencapai sustainability development diperlukan sebuah kerangka global dengan bahasa yang konsisten dan dapat diukur dengan tujuan agar lebih jelas dan mudah dipahami. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan laporan keberlanjutan (sustainability report (SR)) (Suryono dan Prastiwi, 2011). Laporan keberlanjutan (sustainability report) merupakan bentuk laporan yang bersifat sukarela (voluntary) sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sustainability report sangat diperlukan agar stakeholders termasuk masyarakat, mengetahui segala bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan. Hal ini mengingat banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia terkait dengan lingkungan, seperti tragedi banjir lumpur panas di Sidoarjo karena PT. Lapindo Brantas Inc dan pencemaran teluk Buyat di Minahasa Selatan karena PT. Newmont Minahasa Raya (WALHI, 2010).
Perkembangan sustainability report di Indonesia telah mengalami perkembangan. Adanya aturan tegas yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan, mendorong manajer perusahaan untuk melakukan pengungkapan sustainability report. Namun adanya alasan tersebut, tidak membuat semua perusahaan di Indonesia melakukan pengungkapan sustainability report, tidak adanya single definition dari sustainability reporting yang mampu diterima secara global, maupun bagaimana seharusnya bentuk format dari sustainability report itu sendiri menjadi alasan utama tidak setiap perusahaan mau melakukan pengungkapan (Dilling, 2009). Alasan lainnya yaitu manajer perusahaan mempunyai tingkat inisiatif yang berbeda dalam hal pengungkapan sustainability report, serta penyusunannya memerlukan biaya yang banyak.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011) dengan tujuan untuk mengetahui apakah pengungkapan sustainability report perusahaan dapat dipengaruhi oleh kinerja keuangan (profitabilitas, likuiditas, leverage, aktivitas perusahaan), ukuran perusahan, serta mekanisme corporate governance (komite audit, dewan direksi, dewan komisaris independen) perusahaan.


KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Praktik pengungkapan sustainability report dilandasi oleh teori stakeholder dan teori legitimasi. Dalam teori stakeholder dijelaskan bahwa perusahaan akan berusaha untuk mengungkapkan informasi yang bersifat wajib maupun sukarela, agar para stakeholder tetap menaruh kepercayaan terhadap perusahaan. Pengungkapan informasi yang bersifat wajib adalah laporan keuangan. Sedangkan pengungkapan yang bersifat sukarela seperti sustainability report, dibutuhkan oleh stakeholder yang berpengaruh maupun tidak berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi perusahaan. Melalui pengungkapan sustainability report (pengungkapan sosial dan lingkungan) perusahaan dapat memberikan informasi yang lebih cukup dan lengkap berkaitan dengan kegiatan dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan (Ghozali dan Chariri, 2007).
Kemudian dalam teori legitimasi dijelaskan bahwa ketika terjadi fenomena “legitimacy gap”, perusahaan perlu mengevaluasi nilai sosialnya dan menyesuaikannya dengan nilai-nilai sosial yang ada atau persepsi terhadap perusahaan sebagai taktik legitimasi. Oleh karena itu, pengungkapan informasi yang menyangkut dengan organisasi sosial, komunitas masyarakat dan lingkungan sangat diperlukan. Perusahaan dapat mengungkapkan informasi tersebut dalam sustainability report sebagai wujud akuntabilitas perusahaan kepada publik. Tujuannya untuk mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjelaskan bagaimana dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan (Chariri, 2008).

Pengaruh Profitabilitas terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Salah satu yang menjadi ukuran investor dalam berinvestasi yaitu dengan melihat rasio profitabilitas. Profitabilitas merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi rasio profitabilitas, maka semakin tinggi pula informasi yang diberikan oleh manajer. Hal ini dikarenakan pihak manajemen ingin meyakinkan investor mengenai profitabilitas dan kompetensi manajer. Dilling (2009) menyatakan bahwa pelaporan sustainability report memiliki hubungan positif secara signifikan dengan profit margin dan pertumbuhan jangka panjang. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H1 = Tingkat profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.



Pengaruh Likuiditas terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Tingkat likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya, rasio ini menggambarkan kesehatan keuangan suatu perusahaan. Menurut Belkaoui, A.R. et. al (1989), kekuatan perusahaan yang ditunjukkan dengan rasio likuiditas yang tinggi akan berhubungan dengan tingkat pengungkapan yang tinggi. Perusahaan akan berusaha untuk memberikan informasi yang luas tentang kinerja keuangan, untuk meningkatkan image perusahaan. Salah satu pengungkapan tersebut adalah sustainability report yang merupakan suatu bentuk laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang juga mengungkapkan mengenai kinerja keuangan perusahaan. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H2 = Tingkat likuiditas berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.

Pengaruh Leverage terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Tingkat leverage yang tinggi berarti perusahaan mempunyai proporsi hutang yang besar. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan menanggung monitoring cost yang juga tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi manajemen perusahaan untuk melaporkan tingkat profitabilitas yang tinggi dengan mengurangi biaya-biaya termasuk biaya untuk mengungkapkan laporan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Perusahaan dalam mempublikasikan sustainability report memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang cukup besar, sehingga perusahaan akan mengurangi tingkat pengungkapan laporan yang bersifat sukarela terlebih terpisah dari annual report. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H3 = Tingkat leverage berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sustainability report.

Pengaruh Aktivitas Perusahaan terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Perusahaan dengan kinerja keuangan yang baik, menggambarkan bahwa perusahaan tersebut mempunyai pengelolaan aktiva yang baik pula. Dilling (2009) menjelaskan bahwa dari tujuh puluh persen penelitian menunjukkan hubungan positif antara kinerja perusahaan dengan pengungkapan CSR. Pengelolaan aktiva yang baik akan mendorong manajer untuk mengungkapkan secara luas dalam kinerja keuangan perusahaan, salah satunya melalui laporan keberlanjutan. Dengan pengungkapan sustainability report ini akan mendorong perusahaan untuk menjalankan aktivitasnya dengan baik agar meningkatkan nilai perusahaan. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H4 = Tingkat aktivitas perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Perusahaan dengan ukuran yang besar lebih banyak mendapat sorotan dari publik. Maka dari itu, perusahaan yang besar cenderung lebih banyak mengeluarkan biaya untuk mengungkapkan informasi yang lebih luas sebagai upaya untuk menjaga legitimasi perusahaan. Legitimasi perusahaan dapat diwujudkan melalui pengungkapan sustainability report. Sustainability report akan mengungkapkan bagaimana tanggung jawab perusahaan atas aktivitas yang telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) menemukan adanya pengaruh positif ukuran perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H5 = Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.

Pengaruh Komite Audit terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Dalam Mulyadi (2002) menjelaskan bahwa komite audit memiliki tugas untuk menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan kepada pihak eksternal dan kepatuhan terhadap pihak eksternal. Keberadaan komite audit akan mendorong perusahaan untuk menerbitkan laporan yang lengkap dan berintegritas tinggi. Collier (dalam Waryanto, 2010) menyatakan bahwa keberadaan komite audit membantu menjamin pengungkapan dan sistem pengendalian akan berjalan dengan baik. Dengan frekuensi rapat komite audit yang semakin sering, maka pengawasan yang dilakukan akan semakin baik dan kualitas pengungkapan informasi sosial yang dilakukan semakin luas. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H6 = Komite audit berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.

Pengaruh Dewan Direksi terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Berdasarkan code of corporate governance yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (2006) menyatakan fungsi pengelolaan perusahaan yang dilakukan dewan direksi mencangkup lima fungsi yaitu kepengurusan, manajemen resiko, pengendalian internal, komunikasi dan tanggung jawab sosial. Suryono dan Prastiwi (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi frekuensi rapat antara anggota dewan direksi, mengindikasikan semakin seringnya komunikasi dan koordinasi antar anggota sehingga lebih mempermudah untuk mewujudkan good corporate governance. Khomsiyah (dalam Hidayah, 2004) menguji hubungan antara penerapan corporate governance terhadap tingkat pengungkapan informasi. Hasilnya semakin tinggi indeks corporate governance yang menerapkan GCG semakin tinggi pula tingkat pengungkapan informasinya. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H7 = Dewan direksi berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.

Pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Pengungkapan Sustainability Report

Komisaris independen merupakan pihak yang tidak mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris, serta dengan perusahaan itu sendiri (KNKG, 2006). Dewan komisaris independen bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern (Mulyadi, 2002). Pengendalian intern yang baik dapat meningkatkan kualitas laporan, maka dari itu perusahaan akan mengungkapkan informasi seluas-luasnya termasuk informasi tambahan seperti sustainability report. Dengan demikian hipotesis yang diajukan :
H8 = Dewan komisaris independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan sustainability report.


METODE PENELITIAN

Variabel Penelitian

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pengungkapan sustainability report perusahaan. Definisi operasional dari pengungkapan sustainability report diukur dari pengungkapan yang terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan berdasarkan indikator Global Reporting Initiative (GRI) yang diungkapkan dalam sustainability report perusahaan. Metode content analysis digunakan untuk untuk mengukur pengungkapan sustainability report perusahaan. Metode ini dilakukan dengan memberikan checklist atas pengungkapan sustainability report perusahaan yang sesuai dengan indikator yang ditetapkan oleh Global Reporting Initiative (GRI). Apabila perusahaan mengungkapkan item maka diberi nilai 1 dan apabila tidak mengungkapkan maka diberi nilai 0. Selanjutnya setiap item dijumlahkan seluruhnya, kemudian dibagi dengan jumlah total pengungkapan berdasarkan Global Reporting Initiative (GRI) sebesar 79 item.
Variabel independen terdiri dari profitabilitas yang diukur dengan return on assets (ROA) yang dihitung dengan laba bersih setelah pajak dibagi dengan total aktiva. Likuiditas diukur dengan menggunakan current ratio, yaitu aset lancar dibagi dengan kewajiban lancar. Leverage diukur dengan debt to equity ratio (DER), yaitu total kewajiban dibagi dengan ekuitas. Aktivitas perusahaan diukur dengan menggunakan inventory turnover, yaitu penjualan dibagi dengan persediaan. Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural dari total aset yang dimilki perusahaan. Kemudian, variabel komite audit dan dewan direksi masing-masing diukur dengan menggunakan jumlah rapat dalam setahun. Variabel dewan komisaris independen diukur dengan jumlah anggota dewan komisaris independen dibagi jumlah seluruh anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan.

Penentuan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan Indonesia yang terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia) dan annual report perusahaan tersebut diperoleh melalui Bloomberg pada tahun 2009-2011, terkecuali perusahaan-perusahaan yang termasuk dalam kategori banking, credits agencies other than bank, securities dan insurance. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak dimasukkan dalam sampel, dikarenakan terdapat perbedaan dalam analisis kinerja keuangan yang dilakukan. Hal ini memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut melakukan aktivitas yang cenderung lebih fokus pada keuangan, sehingga diindikasikan memiliki karakteristik perusahaan yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan sampel lain pada umumnya. Sampel yang digunakan dipilih dengan metode purposive sampling, dengan kriteria-kriteria yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
  1. Perusahaan-perusahaan non keuangan Indonesia yang terdaftar di BEI dan annual report perusahaan-perusahaan tersebut berada di Bloomberg pada tahun 2009-2011.
  2. Perusahaan yang menerbitkan sustainability report dan terdaftar dalam NCSR (National Center for Sustainability Report) pada tahun 2009-2011 (dengan metode pooling data).
  3. Perusahaan yang menampilkan data-data lengkap, yang dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan, ukuran perusahaan dan corporate governance terhadap pengungkapan sustainability report.

Metode Analisis

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear berganda, dengan persamaan berikut ini :
SRD = α0 + β1 ROA + β2 CURRENT + β3 DER + β4 IT + β5 SIZE + β6 RADIT + β7
RADIR + β8 KOMDEN + ε

Keterangan :
SRD                : Pengungkapan sustainability report
ROA               : Profitabilitas (Return On Assets)
CURRENT     : Likuiditas (Current Ratio)
DER                : Leverage (Debt to Equity Ratio)
IT                    : Analisis Aktivitas (Inventory Turnover)
SIZE               : Ukuran Perusahaan (total aset)
RADIT            : Komite Audit (jumlah rapat dalam setahun)
RADIR           : Dewan Direksi (jumlah rapat dalam setahun)
KOMDEN      : Dewan Komisaris Independen (jumlah anggota komisaris independen dibagi
  seluruh anggota dewan komisaris)
α                      : Konstanta
β                      : Koefisien
ε                      : Error


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan adalah perusahaan yang dipilih berdasarkan metode purposive sampling. Berdasarkan metode tersebut diperoleh 23 perusahaan sampel. Kemudian dari sampel yang telah diperoleh, dengan menggunakan metode pooling didapatkan 45 observasi (pengamatan). Ringkasan perolehan data sampel penelitian ditampilkan dalam tabel 1 berikut ini :



Perusahaan-perusahaan yang dijadikan sampel adalah perusahaan yang telah menerbitkan sustainability report pada periode tahun 2009-2011.



Deskripsi Variabel

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa nilai minimum dari variabel pengungkapan sustainability report (SRD) adalah 0,19, sedangkan nilai maksimum adalah 1,00. Dengan kata lain, perusahaan paling sedikit mengungkapkan sustainability report berdasarkan GRI sebesar 19% dan paling banyak mengungkapkan sustainability report berdasarkan Global Reporting Initiative (GRI) sebesar 100%. Nilai rata-rata pengungkapan sustainability report berdasarkan Global Reporting Initiative (GRI) sebesar 0,74. Jadi, nilai rata-rata pengungkapan sustainability report perusahaan berdasarkan Global Reporting Initiative (GRI) sebesar 74%. Standar deviasi sebesar 0,30 menunjukkan variasi yang terdapat dalam indeks pengungkapan sustainability report. Variabel profitabilitas (ROA) mempunyai nilai minimum 0,07 dan nilai maksimum 38,90. Nilai rata-rata sebesar 12,17, hal ini menunjukkan bahwa tingkat profitabilitas rata-rata perusahaan yang menerbitkan sustainability report sebesar 12,17%. Standar deviasi untuk variabel profitabilitas adalah 9,66.
Variabel likuiditas (CURRENT) mempunyai nilai minimum sebesar 0,23 dan nilai maksimum sebesar 1064,23. Nilai rata-rata variabel likuiditas adalah 164,74 dengan standar deviasi sebesar 227,91. Variabel leverage (DER) mempunyai nilai minimum sebesar 0,01 dan nilai maksimum sebesar 294,64. Nilai rata-rata sebesar 58,87, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang telah menerbitkan sustainability report mempunyai tingkat leverage rata-rata sebesar 58,87%. Standar deviasi tingkat leverage sebesar 66,55. Pada variabel aktivitas perusahaan (IT) nilai minimum sebesar 0,80, nilai maksimum sebesar 602,34 dan standar deviasinya sebesar 133,68. Nilai rata-rata 60,71, hal ini menunjukkan bahwa tingkat rata-rata perputaran persediaan perusahaan yang telah menerbitkan sustainability report sebesar 60,71%.
Variabel ukuran perusahaan (SIZE) yang dihitung dengan logaritma natural mempunyai nilai minimum sebesar 28,25 dan nilai maksimum sebesar 32,66, nilai rata-rata variabel ukuran perusahaan sebesar 30,38 dengan standar deviasi sebesar 1,01. Pada variabel komite audit (RADIT) yang diukur dengan jumlah rapat mempunyai nilai minimum sebesar 3 dan nilai maksimum sebesar 37. Nilai rata-rata sebesar 15,02, hal ini berarti komite audit menyelenggarakan rapat rata-rata sebanyak 15 kali dalam setahun. Standar deviasi untuk varibel komite audit sebesar 10,82. Pada variabel dewan direksi (RADIR) juga diukur dari jumlah rapat dalam setahun, dimana nilai minimum sebesar 4 dan nilai maksimum sebesar 53. Nilai rata-rata variabel ini sebesar 25,84, hal ini berarti dewan direksi menyelenggarakan rapat rata-rata sebanyak 26 kali dalam setahun. Sedangkan standar deviasi variabel dewan direksi sebesar 15,13. Kemudian variabel dewan komisaris independen (KOMDEN) mempunyai nilai minimum sebesar 0,20, nilai maksimum sebesar 0,75 dan standar deviasi sebesar 0,09. Nilai rata-rata sebesar 0,41 yang berarti jumlah rata-rata proporsi dewan komisaris independen dalam perusahaan sebesar 41% dari jumlah total dewan komisaris.

Pembahasan Hasil Penelitian

Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa nilai R Square sebesar 0,38. Hal ini berarti bahwa variabel dependen yaitu pengungkapan sustainability report dipengaruhi oleh variabel profitabilitas, likuiditas, leverage, aktivitas perusahaan, ukuran perusahaan, komite audit, dewan direksi dan dewan komisaris independen sebesar 38%. Nilai F hitung sebesar 2,77 dengan probabilitas 0,01 yang lebih kecil dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ROA, CURRENT, DER, IT, SIZE, RADIT, RADIR DAN KOMDEN secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap variabel pengungkapan sustainability report (SRD).



Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan nilai sig sebesar 0,04, dimana nilai signifikan tersebut berada di bawah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel profitabilitas (ROA) berpengaruh secara signifikan terhadap pengungkapan sustainability report. Nilai beta unstandardized coefficients diperoleh sebesar -0,01. Hasil negatif menunjukkan arah yang berbeda dengan hipotesis yang diajukan, sehingga variabel profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap pengungkapan sustainability report. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011). Donovan dan Gibson (dalam Hasibuan, 2001) menemukan hubungan negatif antara profitabilitas dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian tersebut menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi, perusahaan tidak perlu melaporkan hal-hal yang mengganggu tentang suksesnya keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, perusahaan berharap para pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja perusahaan.
Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa likuiditas (CURRENT) tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report dengan nilai sig sebesar 0,20 yang berada jauh di atas 0,05 dan nilai beta unstandardized coefficients sebesar 0,00. Hasil ini konsisten dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011). Benardi et al. (2009) dalam Almilia dan Retriasari (2007) membuktikan bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap luas pengungkapan sukarela dengan arah yang negatif atau berlawanan, dikarenakan tingginya kinerja keuangan merupakan suatu keharusan. Kondisi keuangan yang likuid akan memudahkan perusahaan menjalankan operasionalnya sehari-sehari (Benardi et al. 2009:18). Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan yang memiliki likuiditas yang tinggi akan mencerminkan perusahaan tersebut juga memiliki modal kerja tersedia yang cukup, sehingga perusahaan akan cenderung mengungkapkan informasi seperlunya saja.
Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan tingkat leverage (DER) tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report dengan nilai beta unstandardized coefficients sebesar 0,00 dan nilai sig sebesar 0,80 yang berada jauh di atas 0,05. Nilai sig tersebut menunjukkan bahwa variabel leverage tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05. Hasil ini konsisten dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011). Menurut Belkaoui dan Karpik (1989), semakin tinggi tingkat leverage semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit, sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba yang lebih tinggi, yang dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengurangi biaya-biaya, termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. Hal ini mengingat biaya untuk proses pembuatan sustainability report cukup tinggi, salah satunya biaya pemeliharaan web.
Hasil pengujian hipotesis keempat menunjukkan bahwa tingkat aktivitas perusahaan (IT) yang diproksi melalui inventory turnover, tidak berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report. Variabel aktivitas perusahaan (IT) mempunyai nilai beta unstandardized coefficients sebesar 0,00 dan nilai sig sebesar 0,62 yang berada jauh di atas 0,05. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryono dan Prastiwi (2011). Rasio perputaran persediaan lebih dipengaruhi oleh ketepatan manajer dalam memilih metode persediaan, agar mendapatkan laba yang tinggi. Sedangkan pengungkapan sustainability report lebih dipengaruhi oleh dorongan dari manajer untuk mengungkapkan informasi perusahaan secara luas, terutama yang menyangkut isu sosial dan lingkungan (Suryono dan Prastiwi, 2011).
Hasil pengujian hipotesis kelima menunjukkan bahwa ukuran perusahaan (SIZE) tidak berpengaruh dalam pengungkapan sustainability report dengan nilai beta unstandardized coefficients sebesar -0,04 dan nilai sig sebesar 0,33 yang berada jauh di atas 0,05. Hasil ini memang tidak konsisten dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011). Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa perusahaan besar, memiliki dorongan untuk menahan informasi yang mengandung nilai relevan untuk menghindari tekanan biaya politik dalam hukum dan kenaikan pajak, serta tekanan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. Oleh karena alasan-alasan tersebut, dimungkinkan manajemen lebih memilih untuk mengungkapkan laporan yang seperlunya saja.
Hasil pengujian hipotesis keenam menunjukkan bahwa komite audit (RADIT) berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report dengan nilai beta unstandardized coefficients sebesar 0,01 dan nilai sig sebesar 0,01 yang berada di bawah 0,05. Hasil ini konsisten dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011). Penelitian dari Collier (dalam Waryanto, 2010) menyatakan bahwa keberadaan komite audit membantu menjamin pengungkapan dan sistem pengendalian agar berjalan dengan baik. Semakin sering komite audit melakukan pertemuan dan saling berkomunikasi, maka beberapa temuan audit akan dievaluasi dan dilaporkan kepada manajer, sehingga dapat mendorong manajer untuk melakukan pengungkapan yang lebih baik. Untuk menuju pengungkapan informasi yang lebih baik, selain menerbitkan laporan keuangan yang berintegritas, pihak manajemen mengungkapkan informasi dalam laporan tambahan, yaitu pengungkapan sustainability report.
Hasil pengujian hipotesis ketujuh menunjukkan bahwa dewan direksi (RADIR) tidak berpengaruh dalam pengungkapan sustainability report dengan nilai beta unstandardized coefficients sebesar -0,00 dan nilai sig sebesar 0,24 yang berada jauh di atas 0,05. Hasil ini tidak konsisten dengan penelitian Suryono dan Prastiwi (2011). Menurut Wijayanti (2011) tidak ditemukannya hubungan antara dewan direksi dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, dikarenakan adanya hubungan agensi yang memotivasi setiap individu untuk memperoleh sasaran yang harmonis dan menjaga kepentingan masing-masing antara agent dan principal. Hal ini memungkinkan pihak manajemen (direksi) lebih mementingkan kepentingan pemegang saham daripada tujuan perusahaan yang berdampak tidak maksimalnya pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan.
Hasil pengujian kedelapan menunjukkan bahwa dewan komisaris independen (KOMDEN) berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report dengan nilai beta unstandardized coefficients sebesar 1,05 dan nilai sig sebesar 0,03 yang berada di bawah 0,05. Menurut Haniffa dan Cooke (2002), apabila jumlah komisaris independen semakin besar atau dominan hal ini dapat memberikan power kepada dewan komisaris untuk menekan manajemen dalam meningkatkan kualitas pengungkapan perusahaan. Peningkatan kualitas pengungkapan dilakukan oleh pihak manajemen dengan cara mengungkapkan laporan tambahan seperti sustainability report. Jika citra perusahaan meningkat, maka hal tersebut menandakan pengawasan yang baik dari dewan komisaris independen dan kerja manajemen yang efektif.


KESIMPULAN DAN KETERBATASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel independen yaitu profitabilitas, likuiditas, leverage, aktivitas perusahaan, ukuran perusahaan, komite audit, dewan direksi dan dewan komisaris independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap pengungkapan sustainability report. Kemudian secara uji signifikansi parameter individual (t-test), menunjukkan bahwa variabel profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap pengungkapan sustainability report. Variabel komite audit dan dewan komisaris independen berpengaruh positif signifikan terhadap pengungkapan sustainability report. Sedangkan variabel likuiditas, leverage, aktivitas perusahaan, ukuran perusahaan dan dewan direksi tidak menunjukkan pengaruh terhadap pengungkapan sustainability report perusahaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rasio-rasio kinerja keuangan, belum sepenuhnya dipandang manajemen perusahaan sebagai bahan pertimbangan dalam pengungkapan sustainability report.
Penelitian ini memilki beberapa keterbatasan. Pertama, jumlah observasi yang digunakan hanya 45 observasi, dikarenakan adanya perusahaan yang tidak setiap tahun mengungkapkan sustainability report. Kedua, sampel penelitian ini hanya menggunakan perusahaan non keuangan. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan variabel independen yang digunakan dalam penelitian.
Berdasarkan keterbatasan tersebut, penelitian selanjutnya sebaiknya mempertimbangkan menggunakan variabel lain di luar variabel yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga dapat memperluas sektor perusahaan sebagai sampel penelitian. Kedua, agar tidak terjadi bias penelitian dalam menghitung indeks pengungkapan sustainability report hendaknya menggunakan pihak ketiga yang independen.


REFERENSI

Almilia, Luciana Spica dan Ikka Retrianansari. 2007. “Analisis Pengaruh Karakteristik
Perusahaan terhadap Kelengkapan Pengungkapan dalam Laporan Tahunan  Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEJ”, dalam Proceeding Seminar Nasional. Inovasi dalam Menghadapi Perubahan Lingkungan Bisnis. Jakarta.
Belkoui dan Karpik, P.G. 1989. “Determinant of The Corporate Decision to Disclose Social
Information”. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 2 No. 1, hal, 36-51.
Benardi, Meliana, Sutrisno, dan Prihat Assih. 2009. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Luas
Pengungkapan dan Implikasinya terhadap Asimetri Informasi”, dalam Simposium Nasional Akuntansi 12.
Chariri, Anis. 2008. “Kritik Sosial Atas Pemakaian Teori dalam Penelitian Pengungkapan
Sosial dan Lingkungan”, dalam Jurnal Maksi, Vol. 8, No. 2, hal. 151-169, http://www.maksi.undip.ac.id/index.php/jurnal-maksi.html. Diakses tanggal 27 Oktober 2012.
Dilling. 2009. “Sustainability Reporting In A Global Context : What Are The Characteristics
Of Corporations That Provide High Quality Sustainability Reports – An Empirical Analysis”, dalam International Business & Economics Research Journal. Vol. 9, No. 1. New York Institute of Technology. Canada.
Ghozali, Imam dan Anis Chariri. 2007. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Global Reporting Initiative 2000–2006. 2006. “Pedoman Laporan Keberlanjutan”,
www.globalreporting.org. Diakses pada tanggal 26 September 2012.
Haniffa dan Cooke. 2005. “ The Impact of Culture and Governance on Coporate Social
Reporting”. Journal of Accounting and Public Policy, pp.391-430.
Hasibuan, Rizal. 2001. “Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Pengungkapan
Sosial” Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
Hidayah, Erna. 2004. “Pengaruh Kualitas Pengungkapan Informasi terhadap Hubungan
Antara Penerapan Corporate Governance dengan Kinerja Perusahaan di BEJ”, dalam Jurnal Akuntansi Vol. 12, No. 1, Juni 2008 : 53-64, http://www.journal.uii.ac.id. Diakses pada tanggal 05 Januari 2013.
Jensen, M. Dan W.H. Meckling. 1976. “Theory of the Firm : Managerial Behaviour, Agency
Costs and Ownership Structure”, dalam Journal of Financial Economics, Vol. 3.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). 2006. Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia. Jakarta, http://www.knkg-indonesia.com. Diakses tanggal 07 Januari 2013.
Mulyadi. 2002. Auditing: Jilid 1 Edisi Enam. Jakarta: Salemba Empat.
Sembiring, Eddy Rismanda. 2005. “Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan
Tanggungjawab Sosial: Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta”. Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo.
Suryono, Hari dan Andri Prastiwi. 2011. “Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan
Corporate Governance (CG) Terhadap Praktik Pengungkapan Sustainability Report (SR)”, dalam Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh 2011 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Aceh.
Waryanto. 2010. “Pengaruh karakteristik Good Corporate Governance (GCG) terhadap
Luas Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia”. Skripsi S1 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang.
Wijayanti, Valentina. 2011. “Pengaruh Dewan Direksi, Komisaris Independen dan Struktur
Kepemilikan Terhadap Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR Disclosure)”, http://www.lib.stekpi.ac.id. Diakses pada tanggal 10 Apri 2013.
www.ncsr-id.org
www.walhi.or.id


Sumber :